Halaman

Catatan Imajiner

Indonesia 2030

Oleh Arief Budisusilo (Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia)

Pemilu 2024 berlangsung dengan aman dan demokratis.Presiden Republik Indonesia bersama Wakil Presiden terpilih, Notonagoro dan Mangkubuwono, mengantongi suara mayoritas, lebih dari 60%, memukul telak pesaingnya.
Pemilu itu diikuti 180 juta pemilih, atau lebih dari 80% pemilik suara sah yang terdaftar di Komisi Pemilihan Umum.
Penduduk Indonesia pada 2024 mencapai lebih dari 260 juta jiwa, dan didominasi kelas menengah yang berusia produktif, melek huruf, melek demokrasi, dan memiliki selera yang sangat tinggi dalam ambisiambisi pribadi (strivers).
Karena itu, meskipun No tonagoro dan Mang ku bu wono, yang dalam Pemilu 2024 mempertahankan kekuasaan sebagai incumbent, masih mengusung kampanye melanjutkan perang melawan korupsi, mendorong pertumbuhan ekonomi tinggi yang “pro-poor”, “pro-growth 26cb 221; dan “pro-job”-meski sebenarnya juga meniru para presiden pendahulunya di Republik ini, kampanye itu tetap dibeli oleh para pemilihnya.
Kuncinya adalah: janji itu di – penuhi. Karenanya, kampanye tersebut menjadi propaganda yang sangat laku, karena dalam periode pertama Notonagoro memerintah berhasil membuktikan sebagai sosok pemimpin yang deliver dan efektif.
***
Pada periode pertama pemerintahan Notonagoro (2019- 2024), kelompok kelas menengah yang merupakan pemilih dominan mampu menikmati kesejahteraan yang mereka idam-idamkan karena iklim usaha begitu positif, aktivitas ekonomi berbiaya rendah, pungli menjadi barang langka, korupsi tinggal menjadi bahan dokumen diskusi sejarah.
Kelompok konsumen juga memiliki daya beli jauh lebih tinggi karena pengangguran dan kemiskinan berhasil diatasi dengan nyata. Itu semua menyebabkan dan mendorong industri berkembang luar biasa, yang dampaknya seperti efek spiral, karena semakin mendorong kekuatan ekonomi kelas menengah.
Apalagi para pemilih sudah semakin melek demokrasi dan melek bacaan sehat karena media berkembang dengan semakin baik, tidak ada lagi bahan bacaan di lembaran koran atau tontonan di layar kaca yang “nurut” dan “manut” kepada kepentingan bisnis atau selera politik pemodalnya.
Dan kata “efektif” dimaknai sederhana saja oleh para pemilih dengan karakter etnografis itu, mereka memilih karena pemimpin idamannya menjalankan apa yang dijanjikan tanpa peduli dampaknya terhadap baik atau buruk nama dan citranya; yang penting seberapa besar manfaat buat rakyatnya. Bahkan tidak ter lihat sedikit pun, menyiratkanpun tidak ada, unsur “balas jasa” kepada para pemodalnya.
Notonagoro menjadi begitu dicintai, karena mampu membuktikan satu kata dengan tindakan. Kata para kiai, pemimpin yang amanah, istikamah, yang memenuhi janji bekerja untuk rakyatnya, untuk pemilihnya, dan “tidak ada dusta di antara kita”.
Semua kasus mafia hukum berhasil diselesaikan tanpa banyak pidato.
Yang terpenting bagi Notonagoro, ia tidak punya kepentingan pribadi apa pun, kecuali memperbaiki negara dan membuat rakyatnya lebih sejahtera, sehingga mengeksekusi janji-janji tanpa beban berat di pundaknya.
Ia mengubah pendekatan penggunaan APBN, mengajukan inisiatif amandemen undang-undang, dan bahkan melalui kekuatan politiknya berhasil mendorong parlemen untuk mengamendemen konstitusi.
Karena itu, sejak kepemimpinannya, tidak ada lagi pembatasan plafon persentase minimal besaran anggaran untuk pos tertentu, termasuk pendidikan, karena justru menjadi ajang korupsi di mana-mana sekaligus menjadikan alokasi anggaran tidak tepat guna.
Anggaran dapat digunakan jauh lebih fleksibel, dengan tujuan jangka panjang, karena ia juga berhasil menghidupkan kembali konsep perencanaan pembangunan seperti di masa lalu melalui Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang menjadi acuan kebijakan pembangunan jangka panjang.
Notonagoro-dengan latar belakang sebagai pengusaha sukses, dan tentu saja bersih-berhasil mengubah paradigma negara sebagai institusi entrepreneurial, yang mengadopsi model bisnis berbasis “pendapatan”. Maka tak segan-segan ia memerintahkan menteri keuangan untuk mengubah dan mereformasi regulasi perpajakan sebagai alat untuk mendatangkan investasi, bukan alat untuk penerimaan negara dalam jangka pendek semata.
Maka dalam waktu singkat, Notonagoro berhasil mengubah Indonesia sebagai tujuan investasi yang dibicarakan di mana-mana, dan berhasil mewujudkan i-BRIC, di mana Indonesia menjadi leader dalam kelompok Brasil, Rusia, Inda dan China; yang pada awal abad 21 banyak dipuja para investor dunia.
***
Ibu Kota negara, yang pernah menjadi perdebatan hendak dipindahkan ke luar Jakarta-bahkan pernah pula berkembang wacana “the Greater Jakarta” atau “Jakarta Raya”-menjadi kota yang manusiawi, karena Notonagoro turun langsung bersama pemerintahan Jakarta.
Bersama Gubernur DKI yang kebetulan namanya mirip sekali, Notokutho, pemerintah pusat dan pemerintah provinsi membenahi infrastruktur Jakarta, sehingga tak ada lagi cerita kemacetan yang menghantui warga Ibu Kota.
Kereta bawah tanah, subway, monorel, rapid bus (sebelumnya bernama busway), serta sejumlah jalan akses penghubung antarblok, jalan layang, underpass, maupun tempat aktivitas bawah tanah, tersedia di berbagai kawasan Jakarta.
Maka, Jakarta menjadi hunian yang manusiawi, tempat yang diidolakan para diplomat luar negeri, dan menjadi tujuan bisnis yang menyenangkan oleh para investor mancanegara, karena tersedianya bandara internasional yang modern berikut interkoneksi yang tersedia dengan kota-kota lainnya.
Jakarta dianggap sebagai titik sentral bagi pebisnis dunia. Penerbangan dari Bandar udara Cengkareng ke Sydney, Tokyo, Beijing, Hong Kong, Mumbai dan kota-kota utama di Asia dapat dijangkau dalam rentang waktu di bawah 7 jam, sehingga membuat banyak perusahaan multinasional memindahkan kantor utamanya di Jakarta.
Dulu, Perdana Menteri Singapura dalam berbagai kesempatan selalu “menjual” negerinya sebagai tempat paling tepat untuk menjadi headquarter perusahaan multinasional dan financial hub regional, tetapi Notonagoro dengan bahu-membahu bersama Notokutho berhasil menggeser citra Singapura dan banyak perusahaan utama dunia migrasi ke Jakarta.
Media, yang semakin tidak dapat menemukan titik lemah sebagai sasaran kritik terhadap pemerintah, menjadi pilar penting dalam membangun kesadaran dan pembentukan kultur can do spirit yang memang diwujudkan dalam tindakan, bukan sekadar ucapan.
Maka, tak heran, selama dua periode Notonagoro berkuasa, namanya dikenang sebagai the most incredible leader dalam sejarah Indonesia dan diakui dunia sebagai pemimpin yang paling disegani.
Notonagoro berhasil mentranslasikan kekuasaan politik menjadi kesejahteraan rakyat dengan kelembagaan masyarakat yang kuat, baik di bidang ekonomi, hukum, politik maupun demokrasi yang terkelola.
Pragmatismenya dengan track record sebagai pengusaha, dipadukan dengan kepemimpinan yang efektif, menjadikan Kabinet Indonesia Jaya yang dipimpinnya benarbenar menjadi tim tangguh “membangun Indonesia”, bukan menjadi “agen” pembangunan “di Indonesia”, yang hanya dinikmati segelintir manusia.
Tidak ada lagi cerita tentang seorang pegawai pajak mengatur birokrasi dan kekuasaan begitu rupa melalui uang korupsi yang diterimanya, atau sokongan pembayar pajak yang telah dibantunya untuk bersama-sama menilap uang yang seharusnya menjadi hak negara untuk menyejahterakan rakyatnya.
Kongkalikong semacam itu, konon, hanya menjadi cerita sejarah pergulatan panjang Indonesia memerangi korupsi, karena kemitraan antara oknum penguasa, oknum birokrasi dan oknum pengusaha, yang ingin cepat kaya meskipun harus menginjak perut bayi tetangga.
***
Tahun 2030, tepat pada 20 Oktober, Notonagoro berpidato di depan panggung terbuka. Ia, berdasarkan pilihannya sendiri, memilih Monumen Nasional, tempat bersejarah yang dibangun Presiden Soekarno.
Hari itu adalah hari terakhir Notonagoro resmi menjabat Kepala Negara. Ia pun didampingi keluarganya, Ibu Negara dan putraputrinya, serta Mangkubuwono yang setia mendampinginya dua periode sebagai Wakil Presiden, serta Gubernur DKI Notokutho yang menjadi mitra paling dekatnya.
Para menteri tidak banyak terlihat, kecuali sekretaris kabinetnya, karena yang lain diminta tetap bekerja seperti biasa. Pidato pamitan Notonagoro itu dibanjiri rakyat yang mengelukannya.
Ia tidak banyak bicara. Hanya sepatah dan dua patah kata yang diucapkannya: “Terimakasih bangsaku, terimakasih negeriku, terimakasih rakyatku. Berkat Anda semua, kita bisa bersama meraih kejayaan sebagai bangsa!” Hanya itu saja.
Tetapi sungguh di luar dugaan.
Media menyambut luar biasa. Pidato itu menjadi pembicaraan di mana-mana. Bukan citra pribadi yang dipolesnya, tetapi kepentingan negara dan rakyat yang diperjuangkannya.
***
Sayup-sayup terdengar azan subuh bergema dari masjid di dekat rumah saya. Jam dinding sudah menunjukkan hampir pukul 05.00 pagi. Baru sadar, ternyata saya cuma bermimpi. 

(arief.budisusilo@ bisnis.co.id)