Kenali musuh, kenali diri sendiri, maka kemenangan tidak akan terancam. Kenali lapangan, kenali iklim, maka kemenangan akan lengkap (Sun Tzu).
Beberapa daerah saat ini sedang melaksanakan pemilu kepala daerah baik dalam pemilu gebernur maupun pemilu walikota/bupati. Suasana politik dibeberapa daerah itu sudah mulai “memanas”. Para Kandidat sudah mulai memasang aksi dan strateginya untuk memperkenalkan diri maupun programnya kepada masyarakat. Termasuk Partai Politik yang menjadi “perahu” untuk membawa kandidat ke Pulau pertarungan politik. Partai-partai juga melakukan berbagai cara untuk melakukan seleksi, konvensi, rekrutmen, dan lobi untuk menjaring siapa kandidat yang akan diusungnya menjadi Calon Kepala Daerah, baik yang berasal dari internal maupun eksternal Partainya.
Berdasarkan fakta, Partai Politik sebagai Organisasi Politik yang sudah memiliki jaringan sampai ke level akar rumput (grass root), sangat dibutuhkan oleh para kandidat. Pertama sebagai persyaratan administratif dalam UU Politik Indonesia bahwa salah satu yang berhak-disamping calon independen-mencalonkan Kepala Daerah adalah Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang memiliki 15 % perolehan suara atau perolehan kursi DPRD pada Pemilu legislatif.
Kedua, sebagai aset strategis dan mesin politik untuk menggerakkan dan menjalankan strategi dan program pemenangan dengan sumberdaya yang dimiliki oleh Partai seperti jaringan, SDM, citra maupun strukturnya sampai tingkat yang terbawah. Akan tetapi mengandalkan kekuatan Partai saja belumlah cukup. Apalagi kalau menggunakan logika matematika hasil suara Partai pada Pemilu Legislatif untuk mengukur kemenangan pada Pilkada. Sebagai contoh pada Pilkada Gubernur Sumbar misalnya Partai yang perolehan suaranya terbesar belum tentu mengantarkan kandidat yang diusungnya untuk menjadi pemenang Pilkada, bahkan mungkin jauh berada dibawah calon lain yang Partai yang mengusungnya. Banyak faktor yang menentukan kemenangan kandidat Kepala Daerah, disamping hasil perolehan suara Partai pada Pemilu sebelumnya, efektifitas dan daya gerak sumber daya manusia Partai yang diistilahkan dengan mesin politik partai lebih menentukan.
Kemudian yang sangat penting berikutnya adalah citra dan popularitas kandidat di mata pemilih, strategi marketing, strategi public relation, lama waktu kandidat memperkenalkan dirinya ketengah masyarakat, kinerja dan track recordnya selama ini, frekuensi dan kualitas penampilan kandidat di media massa, performance, kompetensi, pesona fisik maupun “aura” yang dipancarkan oleh kandidat yang mempengaruhi pasar politik yang terdiri atas tiga bagian yaitu : pemilih, kelompok berpengaruh (influencer groups) dan media massa. Sebagai contoh kasus walau perlu dilakukan studi lebih lanjut, faktor utama kemenangan Gamawan Fauzi menjadi Gubernur Sumbar adalah karena Gamawan telah memilih waktu dan durasi yang cukup panjang untuk melakukan public relation atau pencitraan dirinya melalui media massa dan kelompok berpengaruh seperti LSM yang menganugerahkannya Bung Hatta Anti Corruption Award. Gamawan berhasil mempositioningkan dirinya sebagai “Bupati yang berhasil” dan “Tokoh Anti Korupsi” Sumatera Barat.
Salah satu bahan utama untuk pemenangan lainnya adalah Riset Politik. Menurut Johnson (2001), dalam sistem Pemilu yang demokratis, riset politik merupakan alat yang vital. Kandidat akan sulit memenangkan persaingan jika tidak mengetahui kekuatan dan kelemahan pesaing, perilaku pemilu pemilih, segmentasi pemilih, peta wilayah dan faktor lainnya. Kampanye dan propaganda menurut kandidat semata, akan menyebabkan berpalingnya pemilih ke kontestan lain karena, apa yang disampaikan tidak sesuai dengan aspirasi pemilih. Atau kalaupun kandidat mengetahui apa aspirasi pemilih, namun jika tidak mengetahui cara-cara yang tepat untuk penempatan substansi yang diinginkan, sangat mungkin akan menimbulkan mispersepsi atau pengaburan makna dari pesan yang disampaikan. Atau boleh jadi juga pesaing melakukan pendekatan dengan cara yang berbeda namun lebih efektif, bisa juga dengan cara yang sama pesaing dapat menggagalkan kemenangan kita karena mereka melakukannya dengan lebih baik.
Oleh karena itu, untuk mengantisipasi kemungkinan itu kontestan perlu melakukan riset untuk mengetahui kekuatan dan strategi pesaing. Beberapa kegunaan utama dari riset politik antara lain: pertama, untuk menyusun strategi dan taktik. Adman Nursal (2004) mengatakan Strategi kampanye politik tanpa riset bagaikan orang buta yang berjalan tanpa tongkat. Sebaliknya riset tanpa sumber daya strategis seperti desain strategi, orang, dana dan sumber daya lainnya ibarat orang lumpuh yang memahami jalan dan peta akan tetapi tidak memiliki kendaraan untuk menuju tempat yang diinginkannya. Kedua, riset untuk memonitor hasil penerapan strategi. Implementasi sebuah strategi, akan menimbulkan respon dari pesaing. Reaksi para pemilih perlu diketahui untuk menerapkan strategi berikutnya. Riset monitor politik berorientasi pada tindakan dan reaksi terhadap kondisi saat ini. Jika hasil riset adalah begini, maka apa tindakan yang akan dilakukan.
Salah satu metode riset yang paling populer adalah dengan poling atau survei. Menurut Kavanagh sebagaimana dikutip Adman Nursal (2004) bahwa penyelenggaraan polling memberi input informasi yang relevan untuk membuat strategi marketing politik, diantaranya adalah : membangun citra, menyusun kebijakan, tracking atau memantau kelemahan dan kekuatannya dari waktu ke waktu dan menetapkan pemilih sasaran yang berdasarkan karakter tertentu yang menjadi targetnya. Menurut Shea dan Burton (2001), kita perlu melakukan riset terhadap profil data pesaing. Riset mengenai data pesaing sangat bermanfaat dalam menyusun strategi marketing politik. Riset yang dilakukan adalah untuk memperkirakan apa yang ditawarkan pesaing untuk masa depan (evaluasi prospektif) dan bagaimana reputasinya dimasa silam (evaluasi introspektif).
Evaluasi prospektif kegunaannya adalah untuk memprediksi apa yang ditawarkan kandidat pada pemilih untuk masa depan, sehingga kita bisa memberikan prospektif yang lebih unggul. Sedangkan evaluasi introspektif berguna dengan asumsi perilaku masa lalu merupakan cermin untuk menduga prilaku dimasa depan. Evaluasi introspektif ini juga mesti dilakukan oleh kandidat pada dirinya untuk mengetahui kelemahan dirinya, sehingga ketika kelemahannya diserang oleh pesaing dia dapat mempersiapkan langkah-langkah antisipasinya. Riset berikutnya yang penting dilakukan adalah riset untuk memantau perkembangan opini publik. Untuk hal ini Johnson (2001) mengajukan 6 jenis riset : pertama, focus group analysis, dilakukan beberapa bulan sebelum pemilihan. Idealnya 12 – 14 bulan sebelum pemilihan.
Riset dilakukan dengan membentuk empat sampai lima group diskusi yang masing-masingnya terdiri dari 8 sampai 12 orang. Kedua adalah benchmark survey, untuk mengetahui rincian kekuatan dan kelemahan kontestan-kontestan yang bersaing. Pada survey ini diketahui juga peluang-peluang yang dapat dimanfaatkan dan tantangan atau ancaman yang mesti diantisipasi. Idealnya benchmark survey ini dilakukan 10 hingga 12 bulan sebelum Pemilu/Pilkada dengan melibatkan 500 sampai 1.200 responden. Ketiga, focus group analysis after benchmark, dengan melibatkan beberapa group yang terdiri dari 8 sampai 12 partisipan, untuk mendiskusikan secara mendalam hasil benchmark survey.
Keempat, trend survey yang dilakukan beberapa bulan setelah benchmark poll. Hal ini dilakukan beberapa bulan setelah benchmark poll, ketika kampanye sedang berjalan dimana masing-masing kontestan sudah menjalankan strateginya. Survei ini melibatkan 500 sampai 1.200 pemilih. Kelima, dial meter atau tes pasar tentang iklan kontestan dan iklan pesaing berdasarkan hipotesis kandidat sebelum iklan disiarkan. Tes ini biasanya melibatkan 30 sampai 40 orang partisipan untuk melihat bagaimana respon partisipan terhadap iklan yang akn disiarkan. Keenam, tracking polls, biasanya dilakukan pada minggu terakhir kampanye untuk mengetahui kecendrungan terakhir publik. Biasanya dilakukan dengan melibatkan 400 responden dengan menukar 100 responden setiap 2 malam. Tujuan tracking polls ini adalah untuk mengeluarkan “jurus terakhir” dari kandidat untuk memperebutkan kursi politik.
Berdasarkan keterangan diatas, tinggal bagaimana kesiapan dan kemauan kandidat atau kontestan untuk menerapkan hasil riset yang dilakukan. Berdasarkan ini, kandidat telah melakukan cara-cara kampanye dan pemenangan dengan langkah-langkah yang cerdas, dan bukan yang membodohi pemilih dengan cara-cara yang kurang mendidik seperti menyogok pemilih dengan uang (money politics). Atau dengan politik yang kotor seperti melakukan fitnah atau pembunuhnan karakter terhadap pesaingnya. Akan tetapi mengungkapkan track record negatif/jelek pesaing dalam artian sebenarnya supaya menjadi bahan pertimbangan publik boleh saja sebagai alat kontrol sosial. (***)
Ditulis oleh : M boy Hadi K
Direktur Center for Strategic Studies (TESIST)
Lembaga Survei dan Konsultan Politik
Beberapa daerah saat ini sedang melaksanakan pemilu kepala daerah baik dalam pemilu gebernur maupun pemilu walikota/bupati. Suasana politik dibeberapa daerah itu sudah mulai “memanas”. Para Kandidat sudah mulai memasang aksi dan strateginya untuk memperkenalkan diri maupun programnya kepada masyarakat. Termasuk Partai Politik yang menjadi “perahu” untuk membawa kandidat ke Pulau pertarungan politik. Partai-partai juga melakukan berbagai cara untuk melakukan seleksi, konvensi, rekrutmen, dan lobi untuk menjaring siapa kandidat yang akan diusungnya menjadi Calon Kepala Daerah, baik yang berasal dari internal maupun eksternal Partainya.
Berdasarkan fakta, Partai Politik sebagai Organisasi Politik yang sudah memiliki jaringan sampai ke level akar rumput (grass root), sangat dibutuhkan oleh para kandidat. Pertama sebagai persyaratan administratif dalam UU Politik Indonesia bahwa salah satu yang berhak-disamping calon independen-mencalonkan Kepala Daerah adalah Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang memiliki 15 % perolehan suara atau perolehan kursi DPRD pada Pemilu legislatif.
Kedua, sebagai aset strategis dan mesin politik untuk menggerakkan dan menjalankan strategi dan program pemenangan dengan sumberdaya yang dimiliki oleh Partai seperti jaringan, SDM, citra maupun strukturnya sampai tingkat yang terbawah. Akan tetapi mengandalkan kekuatan Partai saja belumlah cukup. Apalagi kalau menggunakan logika matematika hasil suara Partai pada Pemilu Legislatif untuk mengukur kemenangan pada Pilkada. Sebagai contoh pada Pilkada Gubernur Sumbar misalnya Partai yang perolehan suaranya terbesar belum tentu mengantarkan kandidat yang diusungnya untuk menjadi pemenang Pilkada, bahkan mungkin jauh berada dibawah calon lain yang Partai yang mengusungnya. Banyak faktor yang menentukan kemenangan kandidat Kepala Daerah, disamping hasil perolehan suara Partai pada Pemilu sebelumnya, efektifitas dan daya gerak sumber daya manusia Partai yang diistilahkan dengan mesin politik partai lebih menentukan.
Kemudian yang sangat penting berikutnya adalah citra dan popularitas kandidat di mata pemilih, strategi marketing, strategi public relation, lama waktu kandidat memperkenalkan dirinya ketengah masyarakat, kinerja dan track recordnya selama ini, frekuensi dan kualitas penampilan kandidat di media massa, performance, kompetensi, pesona fisik maupun “aura” yang dipancarkan oleh kandidat yang mempengaruhi pasar politik yang terdiri atas tiga bagian yaitu : pemilih, kelompok berpengaruh (influencer groups) dan media massa. Sebagai contoh kasus walau perlu dilakukan studi lebih lanjut, faktor utama kemenangan Gamawan Fauzi menjadi Gubernur Sumbar adalah karena Gamawan telah memilih waktu dan durasi yang cukup panjang untuk melakukan public relation atau pencitraan dirinya melalui media massa dan kelompok berpengaruh seperti LSM yang menganugerahkannya Bung Hatta Anti Corruption Award. Gamawan berhasil mempositioningkan dirinya sebagai “Bupati yang berhasil” dan “Tokoh Anti Korupsi” Sumatera Barat.
Salah satu bahan utama untuk pemenangan lainnya adalah Riset Politik. Menurut Johnson (2001), dalam sistem Pemilu yang demokratis, riset politik merupakan alat yang vital. Kandidat akan sulit memenangkan persaingan jika tidak mengetahui kekuatan dan kelemahan pesaing, perilaku pemilu pemilih, segmentasi pemilih, peta wilayah dan faktor lainnya. Kampanye dan propaganda menurut kandidat semata, akan menyebabkan berpalingnya pemilih ke kontestan lain karena, apa yang disampaikan tidak sesuai dengan aspirasi pemilih. Atau kalaupun kandidat mengetahui apa aspirasi pemilih, namun jika tidak mengetahui cara-cara yang tepat untuk penempatan substansi yang diinginkan, sangat mungkin akan menimbulkan mispersepsi atau pengaburan makna dari pesan yang disampaikan. Atau boleh jadi juga pesaing melakukan pendekatan dengan cara yang berbeda namun lebih efektif, bisa juga dengan cara yang sama pesaing dapat menggagalkan kemenangan kita karena mereka melakukannya dengan lebih baik.
Oleh karena itu, untuk mengantisipasi kemungkinan itu kontestan perlu melakukan riset untuk mengetahui kekuatan dan strategi pesaing. Beberapa kegunaan utama dari riset politik antara lain: pertama, untuk menyusun strategi dan taktik. Adman Nursal (2004) mengatakan Strategi kampanye politik tanpa riset bagaikan orang buta yang berjalan tanpa tongkat. Sebaliknya riset tanpa sumber daya strategis seperti desain strategi, orang, dana dan sumber daya lainnya ibarat orang lumpuh yang memahami jalan dan peta akan tetapi tidak memiliki kendaraan untuk menuju tempat yang diinginkannya. Kedua, riset untuk memonitor hasil penerapan strategi. Implementasi sebuah strategi, akan menimbulkan respon dari pesaing. Reaksi para pemilih perlu diketahui untuk menerapkan strategi berikutnya. Riset monitor politik berorientasi pada tindakan dan reaksi terhadap kondisi saat ini. Jika hasil riset adalah begini, maka apa tindakan yang akan dilakukan.
Salah satu metode riset yang paling populer adalah dengan poling atau survei. Menurut Kavanagh sebagaimana dikutip Adman Nursal (2004) bahwa penyelenggaraan polling memberi input informasi yang relevan untuk membuat strategi marketing politik, diantaranya adalah : membangun citra, menyusun kebijakan, tracking atau memantau kelemahan dan kekuatannya dari waktu ke waktu dan menetapkan pemilih sasaran yang berdasarkan karakter tertentu yang menjadi targetnya. Menurut Shea dan Burton (2001), kita perlu melakukan riset terhadap profil data pesaing. Riset mengenai data pesaing sangat bermanfaat dalam menyusun strategi marketing politik. Riset yang dilakukan adalah untuk memperkirakan apa yang ditawarkan pesaing untuk masa depan (evaluasi prospektif) dan bagaimana reputasinya dimasa silam (evaluasi introspektif).
Evaluasi prospektif kegunaannya adalah untuk memprediksi apa yang ditawarkan kandidat pada pemilih untuk masa depan, sehingga kita bisa memberikan prospektif yang lebih unggul. Sedangkan evaluasi introspektif berguna dengan asumsi perilaku masa lalu merupakan cermin untuk menduga prilaku dimasa depan. Evaluasi introspektif ini juga mesti dilakukan oleh kandidat pada dirinya untuk mengetahui kelemahan dirinya, sehingga ketika kelemahannya diserang oleh pesaing dia dapat mempersiapkan langkah-langkah antisipasinya. Riset berikutnya yang penting dilakukan adalah riset untuk memantau perkembangan opini publik. Untuk hal ini Johnson (2001) mengajukan 6 jenis riset : pertama, focus group analysis, dilakukan beberapa bulan sebelum pemilihan. Idealnya 12 – 14 bulan sebelum pemilihan.
Riset dilakukan dengan membentuk empat sampai lima group diskusi yang masing-masingnya terdiri dari 8 sampai 12 orang. Kedua adalah benchmark survey, untuk mengetahui rincian kekuatan dan kelemahan kontestan-kontestan yang bersaing. Pada survey ini diketahui juga peluang-peluang yang dapat dimanfaatkan dan tantangan atau ancaman yang mesti diantisipasi. Idealnya benchmark survey ini dilakukan 10 hingga 12 bulan sebelum Pemilu/Pilkada dengan melibatkan 500 sampai 1.200 responden. Ketiga, focus group analysis after benchmark, dengan melibatkan beberapa group yang terdiri dari 8 sampai 12 partisipan, untuk mendiskusikan secara mendalam hasil benchmark survey.
Keempat, trend survey yang dilakukan beberapa bulan setelah benchmark poll. Hal ini dilakukan beberapa bulan setelah benchmark poll, ketika kampanye sedang berjalan dimana masing-masing kontestan sudah menjalankan strateginya. Survei ini melibatkan 500 sampai 1.200 pemilih. Kelima, dial meter atau tes pasar tentang iklan kontestan dan iklan pesaing berdasarkan hipotesis kandidat sebelum iklan disiarkan. Tes ini biasanya melibatkan 30 sampai 40 orang partisipan untuk melihat bagaimana respon partisipan terhadap iklan yang akn disiarkan. Keenam, tracking polls, biasanya dilakukan pada minggu terakhir kampanye untuk mengetahui kecendrungan terakhir publik. Biasanya dilakukan dengan melibatkan 400 responden dengan menukar 100 responden setiap 2 malam. Tujuan tracking polls ini adalah untuk mengeluarkan “jurus terakhir” dari kandidat untuk memperebutkan kursi politik.
Berdasarkan keterangan diatas, tinggal bagaimana kesiapan dan kemauan kandidat atau kontestan untuk menerapkan hasil riset yang dilakukan. Berdasarkan ini, kandidat telah melakukan cara-cara kampanye dan pemenangan dengan langkah-langkah yang cerdas, dan bukan yang membodohi pemilih dengan cara-cara yang kurang mendidik seperti menyogok pemilih dengan uang (money politics). Atau dengan politik yang kotor seperti melakukan fitnah atau pembunuhnan karakter terhadap pesaingnya. Akan tetapi mengungkapkan track record negatif/jelek pesaing dalam artian sebenarnya supaya menjadi bahan pertimbangan publik boleh saja sebagai alat kontrol sosial. (***)
Ditulis oleh : M boy Hadi K
Direktur Center for Strategic Studies (TESIST)
Lembaga Survei dan Konsultan Politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar