Sumber : www.pbbsidoarja.blogspot.com
JAKARTA - Kabar gembira bagi para calon anggota legislatif (caleg) yang tidak menempati nomor urut atas. Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan caleg pada Pemilu 2009 ditentukan melalui sistem suara terbanyak, bukan berdasar nomor urut. Dengan putusan itu, caleg yang menempati nomor buncit pun berkesempatan sama dengan mereka yang bertengger di urutan teratas.
Putusan tersebut digedok setelah MK mengabulkan permintaan uji materiil pasal 214 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Permohonan diajukan oleh caleg PDIP Muhammad Soleh dkk serta caleg Partai Demokrat Sutjipto. Mereka merasa dirugikan atas penentuan lolos tidaknya caleg menjadi anggota dewan berdasar nomor urut.
Menurut MK, pasal 214 tersebut inkonstitusional karena bertentangan dengan substansi kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam UUD 1945. ''Karena itu, MK menyatakan pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UU No 10/2008 bertentangan dengan UUD RI 1945,'' ujar Ketua MK Mahfud M.D. saat membacakan putusan kemarin.
Selanjutnya, kata dia, MK menyatakan pasal-pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Mahfud menyebutkan, dalil pemohon sepanjang mengenai pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UU No 10/2008 sangat beralasan, sehingga MK mengabulkan permohonan itu . ''Jadi, memang harus menetapkan anggota legislatif berdasar suara terbanyak,'' ujarnya.
Dalam permohonannya, Soleh cs meminta agar pasal 55 ayat (2) dan pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UU Pemilu dinyatakan bertentangan dengan pasal 27 ayat (1), pasal 28D ayat (1), pasal 28D ayat (3), serta pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Inti pasal 214 menyatakan, caleg DPR, DPD, dan DPRD terpilih ditentukan berdasar calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30 bilangan dari bilangan pembagi pemilih (BPP). Jika calon yang memenuhi syarat melebihi jumlah kursi, kursi diberikan kepada calon dengan nomor urut kecil.
''MK mempertimbangkan ketentuan pasal 214 yang menyatakan bahwa calon anggota legislatif terpilih adalah calon yang mendapat suara di atas 30 persen dari BPP (bilangan pembagi pemilih) atau menempati nomor urut lebih kecil, bertentangan dengan makna substantif dan prinsip keadilan,'' tegas Mahfud.
Mantan anggota DPR itu menambahkan, jika pasal 214 diterapkan, kalau ada dua orang yang tidak memenuhi syarat 30 persen dari BPP, penentuan dilakukan menggunakan nomor urut terkecil. ''Hal itu yang tidak adil. Calon yang suara rakyatnya paling banyak bisa dikalahkan oleh calon yang suaranya lebih kecil,'' ungkapnya.
Dia yakin, pelaksanaan putusan MK tidak akan menimbulkan hambatan yang pelik karena pihak terkait, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), menyatakan siap melaksanakan. "Walau tanpa revisi undang-undang maupun pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, KPU beserta jajarannya dapat menetapkan calon terpilih berdasar putusan MK dalam perkara ini," terang Mahfud.
Sebelumnya, Soleh (caleg DPRD Jawa Timur untuk dapil I dari Partai PDIP dengan nomor urut 7) mengatakan, putusan mengajukan gugatan ke MK itu disebabkan efisiensi waktu mengingat masa pemilu yang makin dekat. Soleh juga yakin bisa memenangkan gugatan tersebut. Sebab, pemerintah sejak awal menyepakati penentuan caleg terpilih dengan mekanisme suara terbanyak. Bahkan, hal itu dilontarkan langsung oleh Presiden SBY.
"Saya meminta pengujian pasal 55 dan 214 karena mengatur mengenai penetapan calon yang sama-sama memperoleh suara lebih dari 30 persen diputuskan berdasar nomor urut. Itu tidak adil. Misalnya, saya berada di nomor 7 mendapatkan 99 persen, tapi bisa kalah dengan calon nomor 1 yang hanya mendapatkan suara 30 persen lebih sedikit," katanya.
Sementara itu, meski MK memutuskan mengabulkan permohonan uji materi UU Pemilu, satu hakim MK, yaitu Maria Farida, punya pendapat berbeda. Dia berbeda pendapat dengan hakim-hakim konstitusi lain saat memutuskan uji materiil Undang-Undang Pemilu. Maria tidak setuju bahwa pasal 214 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Menurut Maria, penetapan calon terpilih seperti diatur dalam pasal 214 UU No 10 Tahun 2008 merupakan tindakan afirmatif dalam rangka memberikan peluang bagi keterpilihan calon perempuan. Karena itu, penetapan penggantian dengan suara terbanyak akan menimbulkan inkonsistensi terhadap tindakan afirmatif tersebut.
"Dengan membatalkan pasal 214 huruf a sampai e, penetapan calon terpilih dilakukan berdasar siapa yang meraih suara terbanyak. Akibatnya, sistem zipper, yakni sistem di mana partai menempatkan minimal satu perempuan di antara tiga calon, menjadi tidak berguna," katanya beralasan.
Dikabulkannya gugatan UU Pemilu juga membawa angin segara bagi parpol yang mengajukan gugatan atas UU Pilpres. "Kami berharap MK bisa bersikap bijak dan adil dalam memutuskan uji materi UU Pilpres ini," ujar Ketua Umum Partai Hanura Wiranto di gedung MK kemarin. Dia juga mengatakan, jika memperhatikan materi gugatan, MK pasti mengabulkan. "UU Pilpres bertentangan dengan UUD dan proses berdemokrasi," tambahnya.
Selain Hanura, parpol yang mengajukan gugatan UU Pilpres adalah Partai Indonesia Sejahtera (PIS), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Demokrasi Pembaruan (PDP). "Gugatan ini merupakan bentuk perjuangan Partai Hanura untuk kepentingan bangsa agar tak terjebak dalam status quo," tegasnya.
Terpisah, komisioner Komisi Pemilihan Umum Andi Nurpati menyatakan menerima hasil putusan MK tersebut. Sejak sebelum putusan ditetapkan, kata dia, KPU telah menyatakan akan melaksanakan apa pun putusan MK. "Bagi KPU, ini sama sekali tidak mengganggu tahapan pemilu," ujar Andi.
Meski begitu, dengan sistem suara terbanyak, KPU belum merumuskan bagaimana mekanisme penetapan suara tersebut. Satu pertanyaan yang muncul adalah apabila pemilih menandai nama (mencontreng) lambang partai, akan dikemanakan suara tersebut? "Posisi seperti itu bukan wewenang kami. Kami akan konsultasi dulu kepada MK dan DPR," jelasnya.
Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti menambahkan, putusan MK itu praktis akan mengubah segala tata aturan penetapan calon terpilih. Dengan memilih suara terbanyak, otomatis aturan untuk menandai tanda gambar partai harus dihapus. "Menandai partai menjadi tidak berlaku," ujar Ray.
Praktis, dengan suara terbanyak, DPR harus mengubah aturan yang ada. Yang pertama, DPR harus menetapkan aturan baru terkait tata cara pemungutan suara. Selanjutnya, DPR wajib merumuskan aturan baru terkait tata cara penetapan calon terpilih. "Pertanyaannya di sini, dengan waktu saat ini apakah cukup," katanya.
Dia menambahkan, aturan penetapan suara terbanyak tersebut ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi, suara terbanyak mampu meminimalkan potensi pemungutan ulang. Namun, aturan suara terbanyak juga berpotensi penggelembungan suara. "Suara caleg yang tidak memenuhi syarat bisa jadi akan dijual kepada caleg lain," ujarnya mengingatkan.
Kalangan parpol secara umum menyatakan siap melaksanakan putusan tersebut. "Kalau itu sudah putusan pasti, kami siap dan tidak ada masalah," ujar Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB A. Muhaimin Iskandar saat dihubungi.
Menurut dia, putusan tersebut dalam beberapa hal justru berdampak positif terhadap parpol. Sebab, setiap kader akan berlomba-lomba menjaring suara. "Saya yakin tidak akan ada masalah bagi caleg-caleg kami, semua siap," tegasnya.
Hal yang sama juga disampaikan Presiden PKS Tifatul Sembiring. "Asal diketahui, saat pembahasan UU, kami yang mengusulkan bersama PAN, tapi akhirnya kalah," ujarnya.
Meski akhirnya diputuskan penentuan caleg terpilih tidak menggunakan sistem suara terbanyak, belakangan beberapa partai justru telah menerapkannya secara internal. Yaitu, Partai Golkar dan Partai Demokrat. Ditambah PAN yang memang sejak awal mendorong penggunaan sistem tersebut. Selebihnya tetap menggunakan sistem proporsional terbatas sesuai UU.
"Ini kemenangan demokrasi, kemenangan seluruh rakyat Indonesia," ujar Ketua Umum DPP PAN Soetrisno Bachir. Menurut dia, penerapan sistem suara terbanyak telah memberikan ruang yang lebih luas kepada rakyat untuk menentukan tokoh yang dianggap paling pantas duduk sebagai wakil rakyat.
Diposkan oleh PBB Sidoarjo
JAKARTA - Kabar gembira bagi para calon anggota legislatif (caleg) yang tidak menempati nomor urut atas. Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan caleg pada Pemilu 2009 ditentukan melalui sistem suara terbanyak, bukan berdasar nomor urut. Dengan putusan itu, caleg yang menempati nomor buncit pun berkesempatan sama dengan mereka yang bertengger di urutan teratas.
Putusan tersebut digedok setelah MK mengabulkan permintaan uji materiil pasal 214 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Permohonan diajukan oleh caleg PDIP Muhammad Soleh dkk serta caleg Partai Demokrat Sutjipto. Mereka merasa dirugikan atas penentuan lolos tidaknya caleg menjadi anggota dewan berdasar nomor urut.
Menurut MK, pasal 214 tersebut inkonstitusional karena bertentangan dengan substansi kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam UUD 1945. ''Karena itu, MK menyatakan pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UU No 10/2008 bertentangan dengan UUD RI 1945,'' ujar Ketua MK Mahfud M.D. saat membacakan putusan kemarin.
Selanjutnya, kata dia, MK menyatakan pasal-pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Mahfud menyebutkan, dalil pemohon sepanjang mengenai pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UU No 10/2008 sangat beralasan, sehingga MK mengabulkan permohonan itu . ''Jadi, memang harus menetapkan anggota legislatif berdasar suara terbanyak,'' ujarnya.
Dalam permohonannya, Soleh cs meminta agar pasal 55 ayat (2) dan pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UU Pemilu dinyatakan bertentangan dengan pasal 27 ayat (1), pasal 28D ayat (1), pasal 28D ayat (3), serta pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Inti pasal 214 menyatakan, caleg DPR, DPD, dan DPRD terpilih ditentukan berdasar calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30 bilangan dari bilangan pembagi pemilih (BPP). Jika calon yang memenuhi syarat melebihi jumlah kursi, kursi diberikan kepada calon dengan nomor urut kecil.
''MK mempertimbangkan ketentuan pasal 214 yang menyatakan bahwa calon anggota legislatif terpilih adalah calon yang mendapat suara di atas 30 persen dari BPP (bilangan pembagi pemilih) atau menempati nomor urut lebih kecil, bertentangan dengan makna substantif dan prinsip keadilan,'' tegas Mahfud.
Mantan anggota DPR itu menambahkan, jika pasal 214 diterapkan, kalau ada dua orang yang tidak memenuhi syarat 30 persen dari BPP, penentuan dilakukan menggunakan nomor urut terkecil. ''Hal itu yang tidak adil. Calon yang suara rakyatnya paling banyak bisa dikalahkan oleh calon yang suaranya lebih kecil,'' ungkapnya.
Dia yakin, pelaksanaan putusan MK tidak akan menimbulkan hambatan yang pelik karena pihak terkait, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), menyatakan siap melaksanakan. "Walau tanpa revisi undang-undang maupun pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, KPU beserta jajarannya dapat menetapkan calon terpilih berdasar putusan MK dalam perkara ini," terang Mahfud.
Sebelumnya, Soleh (caleg DPRD Jawa Timur untuk dapil I dari Partai PDIP dengan nomor urut 7) mengatakan, putusan mengajukan gugatan ke MK itu disebabkan efisiensi waktu mengingat masa pemilu yang makin dekat. Soleh juga yakin bisa memenangkan gugatan tersebut. Sebab, pemerintah sejak awal menyepakati penentuan caleg terpilih dengan mekanisme suara terbanyak. Bahkan, hal itu dilontarkan langsung oleh Presiden SBY.
"Saya meminta pengujian pasal 55 dan 214 karena mengatur mengenai penetapan calon yang sama-sama memperoleh suara lebih dari 30 persen diputuskan berdasar nomor urut. Itu tidak adil. Misalnya, saya berada di nomor 7 mendapatkan 99 persen, tapi bisa kalah dengan calon nomor 1 yang hanya mendapatkan suara 30 persen lebih sedikit," katanya.
Sementara itu, meski MK memutuskan mengabulkan permohonan uji materi UU Pemilu, satu hakim MK, yaitu Maria Farida, punya pendapat berbeda. Dia berbeda pendapat dengan hakim-hakim konstitusi lain saat memutuskan uji materiil Undang-Undang Pemilu. Maria tidak setuju bahwa pasal 214 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Menurut Maria, penetapan calon terpilih seperti diatur dalam pasal 214 UU No 10 Tahun 2008 merupakan tindakan afirmatif dalam rangka memberikan peluang bagi keterpilihan calon perempuan. Karena itu, penetapan penggantian dengan suara terbanyak akan menimbulkan inkonsistensi terhadap tindakan afirmatif tersebut.
"Dengan membatalkan pasal 214 huruf a sampai e, penetapan calon terpilih dilakukan berdasar siapa yang meraih suara terbanyak. Akibatnya, sistem zipper, yakni sistem di mana partai menempatkan minimal satu perempuan di antara tiga calon, menjadi tidak berguna," katanya beralasan.
Dikabulkannya gugatan UU Pemilu juga membawa angin segara bagi parpol yang mengajukan gugatan atas UU Pilpres. "Kami berharap MK bisa bersikap bijak dan adil dalam memutuskan uji materi UU Pilpres ini," ujar Ketua Umum Partai Hanura Wiranto di gedung MK kemarin. Dia juga mengatakan, jika memperhatikan materi gugatan, MK pasti mengabulkan. "UU Pilpres bertentangan dengan UUD dan proses berdemokrasi," tambahnya.
Selain Hanura, parpol yang mengajukan gugatan UU Pilpres adalah Partai Indonesia Sejahtera (PIS), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Demokrasi Pembaruan (PDP). "Gugatan ini merupakan bentuk perjuangan Partai Hanura untuk kepentingan bangsa agar tak terjebak dalam status quo," tegasnya.
Terpisah, komisioner Komisi Pemilihan Umum Andi Nurpati menyatakan menerima hasil putusan MK tersebut. Sejak sebelum putusan ditetapkan, kata dia, KPU telah menyatakan akan melaksanakan apa pun putusan MK. "Bagi KPU, ini sama sekali tidak mengganggu tahapan pemilu," ujar Andi.
Meski begitu, dengan sistem suara terbanyak, KPU belum merumuskan bagaimana mekanisme penetapan suara tersebut. Satu pertanyaan yang muncul adalah apabila pemilih menandai nama (mencontreng) lambang partai, akan dikemanakan suara tersebut? "Posisi seperti itu bukan wewenang kami. Kami akan konsultasi dulu kepada MK dan DPR," jelasnya.
Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti menambahkan, putusan MK itu praktis akan mengubah segala tata aturan penetapan calon terpilih. Dengan memilih suara terbanyak, otomatis aturan untuk menandai tanda gambar partai harus dihapus. "Menandai partai menjadi tidak berlaku," ujar Ray.
Praktis, dengan suara terbanyak, DPR harus mengubah aturan yang ada. Yang pertama, DPR harus menetapkan aturan baru terkait tata cara pemungutan suara. Selanjutnya, DPR wajib merumuskan aturan baru terkait tata cara penetapan calon terpilih. "Pertanyaannya di sini, dengan waktu saat ini apakah cukup," katanya.
Dia menambahkan, aturan penetapan suara terbanyak tersebut ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi, suara terbanyak mampu meminimalkan potensi pemungutan ulang. Namun, aturan suara terbanyak juga berpotensi penggelembungan suara. "Suara caleg yang tidak memenuhi syarat bisa jadi akan dijual kepada caleg lain," ujarnya mengingatkan.
Kalangan parpol secara umum menyatakan siap melaksanakan putusan tersebut. "Kalau itu sudah putusan pasti, kami siap dan tidak ada masalah," ujar Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB A. Muhaimin Iskandar saat dihubungi.
Menurut dia, putusan tersebut dalam beberapa hal justru berdampak positif terhadap parpol. Sebab, setiap kader akan berlomba-lomba menjaring suara. "Saya yakin tidak akan ada masalah bagi caleg-caleg kami, semua siap," tegasnya.
Hal yang sama juga disampaikan Presiden PKS Tifatul Sembiring. "Asal diketahui, saat pembahasan UU, kami yang mengusulkan bersama PAN, tapi akhirnya kalah," ujarnya.
Meski akhirnya diputuskan penentuan caleg terpilih tidak menggunakan sistem suara terbanyak, belakangan beberapa partai justru telah menerapkannya secara internal. Yaitu, Partai Golkar dan Partai Demokrat. Ditambah PAN yang memang sejak awal mendorong penggunaan sistem tersebut. Selebihnya tetap menggunakan sistem proporsional terbatas sesuai UU.
"Ini kemenangan demokrasi, kemenangan seluruh rakyat Indonesia," ujar Ketua Umum DPP PAN Soetrisno Bachir. Menurut dia, penerapan sistem suara terbanyak telah memberikan ruang yang lebih luas kepada rakyat untuk menentukan tokoh yang dianggap paling pantas duduk sebagai wakil rakyat.
Diposkan oleh PBB Sidoarjo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar