Halaman

Politik Futuristik

Penulis : Masmuni Mahatma, Staf Pengajar Fakultas Filsafat UNPAR Bandung.
DALAM pandangan Aristoteles, bahwa salah satu kekhasan aktivitas manusia sebagai makhluk sosial adalah ketergiurannya pada dunia politik. Dan karena itu tak sedikit filosof yang menggelari manusia dengan istilah zon politicon, hewan politik yang paling lincah dibandingkan makhluk Tuhan yang lain.
Bahkan, tegas Aristoteles, kaum lelaki di era Yunani Kuno (hampir) sebagian besar suka mengejar karier dalam dunia politik. Sebab, wilayah politik dipandang sebagai salah satu jalur ideal untuk mengukir eksistensi hidup yang lebih prestise secara sosial. Dengan menggeluti dan sukses dalam aktivitas politik, seringkali harapan-harapan sosialmaterialitas kemanusiaannya seperti mudah digapai.
Namun demikian, pergulatan politik Indonesia akhir-akhir ini kalau dicermati dengan seksama semakin hari tampak kian tidak mencerahkan. Wacana yang lebih dominan menari di permukaan publik hanyalah friksi-friksi dan pencitraan politik yang parsialistik. Sehingga komitmen untuk terus mencerdaskan dan menyejahterakan rakyat sebagaimana diamanahkan dalam semangat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 seringkali lenyap di tengah kebisingan isu-isu politik-pragmatis.

Kawan dan Lawan
Sebagaimana kita mafhumi bahwa dalam wilayah politik memang tidak ada kawan dan lawan yang abadi. Semua berpulang pada kepentingan kekuasaan itu sendiri. Yang salah bisa (sedikit) benar, dan yang benar dapat dengan mudah disalahkan, tergantung transaksi politik yang berlangsung. Bahkan, masingmasing skuad politik yang sering kali mengatasnamakan rakyat itu bisa saling menebar ancaman dan larut dalam friksi dan pencitraan politik un-paradigmatic bilamana eksistensi politik kepentingannya terusik.
Adapun friksi dan pencitraan politik yang kurang paradigmatik, disadari atau tidak, sebenarnya hanya dapat mengusutkan tali temali demokrasi yang telah dibentangkan pasca rezim Soeharto diruntuhkan. Dan salah satu akibatnya, elite politik dari lapisan apa pun kadang tidak memiliki etos kerja politik yang bisa diandalkan. Mereka seperti mengalami "autisme politik", pura-pura lupa pada semburan janji politiknya selama kampanye. Bahkan, tak jarang mereka juga tiba-tiba menjadi peragu dan penakut yang berlebihan.
Dari sinilah disorientasi terhadap nilai-nilai demokrasi bermula. Elite-elite politik pun hanya pandai berkelit tapi tak sungguh-sungguh memahami aliran aspirasi publik yang kian terjepit. Mereka terjebak dalam debat-debat dan "pertengkaran klise" antarmereka sendiri. Akibatnya, manakala menangani kerja-kerja politik kebangsaan mereka selalu abai terhadap aspirasi publik (konstituen) sekaligus tersandera oleh kepentingan dari mitra-mitra koalisinya. Maka dari itu, cukup wajar kalau negeri ini hanya bisa menjadi "negeri satgas" dan "bangsa angket" yang teramat lebai.
Adagium kawan bisa jadi lawan dan lawan kelak dapat jadi kawan pula dalam tradisi politik tampaknya perlu ditelaah lebih jernih. Istilah ini tak lebih sebagai citraan dari cara kerja politik yang sangat dangkal dan pragmatis. Adapun pragmatisme, seperti disinyalir oleh John Dewey, memang tidak begitu mementingkan faktor-faktor a-priori atau nilai-nilai abstrak, keinginan dan dorongan, melainkan hanya bicara soal akibat atau implikasi dari suatu gejala dan tindakan sosial itu sendiri.
Padahal secara prosedural, para elite politik tidak pernah menduduki kursi kekuasaan di parlemen dengan tiba-tiba. Semua melalui proses aspiratif dari berbagai konstituen dengan cara dan kontraknya masing-masing. Oleh karena itu, pemaknaan kawan dan lawan dalam tradisi politik mesti ditaruh dalam konteks yang proporsional, yakni ketika berhadapan dengan kebijakankebijakan pemerintahan yang tidak lagi senyawa dengan kebutuhan mendasar masyarakat secara makro.
Betapa pun ada partai politik yang menjadi pemenang pemilu dan penguasa dalam sebuah rezim tertentu, fungsi utamanya tetap mewakili aspirasi rakyat. Dan yang namanya perwakilan, meminjam bahasa Seymour Martin Lipset, bukan hanya sarana bagi penyesuaian politik terhadap tekanan-tekanan sosial, dan juga bukan sebatas alat manipulasi. Lebih dari itu, perwakilan adalah menempatkan kombinasi hubungan antara partai politik dan landasan sosial yang memungkinkan pemerintahan berdaya guna dalam menyejahterakan massa politiknya.

Koalisi Taktis
Dalam perspektif demokrasi modern, memang agak sulit menginginkan kemenangan secara politik dalam kekuasaan tanpa membangun koalisi-taktis dengan berbagai elemen demokrasi yang lain. Sehingga tak berlebihan manakala Max Weber dan Joseph Schumpeter menyatakan bahwa elemen demokrasi yang nyata dan yang paling bernilai adalah pembentukan elite politik dalam rangka perjuangan untuk menarik suara terutama dari para pemilih yang pasif.
Namun demikian, koalisi politik apa pun bentuknya mesti tetap dimaknai sebagai upaya menguatkan jahitan demokrasi yang ideal demi kemaslahatan publik dan bukan taktik hedonis sebagian elite meraih kekuasaan semata. Dengan kerangka seperti itu, politik tidak akan lepas dari irisan-irisan generiknya sebagai monomen aspirasi sekaligus laboratorium moral sosial kerakyatan. Dan pelan tapi pasti politik akan bertumbuh produktif dalam mengayomi dan mengolah struktur kehidupan publik.
Dari spirit politik semacam itu pula cepat atau lambat akan terbangun budaya politik yang futuristik, yaitu wawasan dan perilaku politik yang holistik dalam memahat aspirasi maupun kemauan sosial konstituen. Sebab, menurut Fred Polak, pada dasarnya semua pemikiran manusia mengundang usaha yang sadar dalam mengarahkan penglihatan, perasaan, dan tanggapannya, serta menyusunnya dalam kategori-kategori yang memperlihatkan rangkaian waktu yang mengandung arti. Dan kemampuan mental manusia, memungkinkan mereka menjadi warga dari dua dunia; kekinian dan gambaran keakanan (masa depan).
Di sisi lain, hanya orang yang merasa asing dengan masyarakat (alienated), lanjut Polak, yang mulai menolak memikirkan masalah masa depan dan hanya mengutamakan masa kini. Sebaliknya, orang-orang yang kecewa dan merasa tidak puas dengan masa kini sangat rindu terhadap pembaharuan masa depan. Maka manusia politik yang kurang lihai mengasah spirit optimisme, ia akan tampil tak ubahnya problema baru ketimbang sebagai pembawa solusi dan rahmat bagi kehidupan publik.
Kalau saja meniru kaidah (fikih) sosial NU, politik futuristik itu akan tangguh dalam memelihara nilai-nilai tradisi politik lama, namun juga akan semakin lincah ketika menangani terobosan-terobosan politik berbasis modernitas (al muhafadhatu ala al qadimi al shalih wa al akhdu bi al jadidi al ashlah). Dan melalui rajutan nilai politik futuristik ini pula kita akan dapat menyaksikan "tarian-tarian erotis" praktisi parpol yang lebih kreatif dan menyentuh di hadapan publik.
Pada dimensi terdalam pun, politik futuristik akan ikut mempertajam analisa-analisa sosial baik menyangkut hal-hal yang sekadar kasuistik maupun problematika politik yang sedikit manipulatif, seperti Lumpur Lapindo, "KPK-Antasari", "BI-Miranda", Misteri Bank Century, Mafia Perpajakan, Kekerasan berbasis Agama dan lain-lain.
Singkat kata, politik futuristik adalah cara pandang dan kaidah kerja politik- integralistik dalam menuntaskan setiap masalah politik dengan membasiskan diri pada nilai-nilai kejujuran sekaligus keluhuran kemanusiaan, bukan kerja politik yang hanya dihantui ketakutan dan keraguan kekanak-kanakan melalui penyanderaan atau transaksi politik yang parsialistik.***

-- Tribun Jabar ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar