Tulisan : Didik Supriyanto - detikNews
Jakarta - Kala zaman Orde Baru, kita tidak akan kaget dengan kesepakatan partai politik yang menetapkan parliamentary threshold (PT) atau ambang batas masuk parlemen 3% suara nasional untuk pemilihan anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Kooptasi, sentralisasi, penyeragaman. Itulah kebijakan politik Orde Baru, yang membuat Indonesia terkoyak-koyak nyaris berantakan. Kini, pada saat dampak buruk kebijakan belum hilang dari ingatan, partai-partai di DPR hendak menerapkannya kembali politik penyeragaman.
Memang metodenya berbeda, tapi targetnya sama. Jika Orde Baru menggunakan instrumen kebijakan eksekutif untuk menjalankan penyeragaman; kini instrumen itu bernama pemilu. Tentu saja lebih memiliki legetimasi, karena pemilu bisa diklaim sebagai kehendak rakyat.
Jika PT 3% suara nasional digunakan sebagai basis untuk menyeleksi partai politik memperoleh kursi di DPRD porvinsi dan di DPRD kabupaten/kota, berarti jumlah dan komposisi partai di DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, disamakan dengan jumlah dan komposisi partai di DPR.
Sebagai ilustrasi adalah hasil Pemilu 2009. Dengan PT 2,5%, Pemilu 2009 menghasilkan 9 partai di DPR: Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Keadilan dan Kesejahteraan, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Gerakan Indonesia Raya dan Partai Hati Nurani Rakyat.
Kalau saja PT 2,5% suara nasional itu diterapkan untuk membatasi partai politik yang masuk di DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, maka 9 partai itulah yang akan memenuhi seluruh kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Padahal, kenyataannya banyak partai yang memiliki basis pemilih di provinsi atau kabupaten/kota tertentu, meskipun suara nasionalnya tidak mencapai 2,5%.
Sebagai contoh, Partai Damai Sejahtera memiliki banyak pemilih di Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua Barat dan Papua; Partai Demokrasi Kebangsaan meraup suara yang signifikan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat; Partai Kebangkitan Nasional Ulama meraih suara yang mencukupi di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Jumlah raihan suara partai-partai tersebut di daerah masing-masing melampaui 2,5% suara per provinsi atau per kabupaten/kota, sehingga mereka memiliki kursi yang cukup (tidak hanya satu dua kursi) di DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota daerah masing-masing. Sementara ke-9 yang masuk DPR nasional, belum tentu masing-masing meraih suara lebih dari 2,5%.
Dengan kata lain, terdapat dinamika politik lokal (yang berbeda dari dinamika politik nasional) yang menyebabkan penduduk daerah lebih memilih wakil dari partai politik di luar 9 partai yang meraih kursi di DPR. Banyak faktor, mengapa hal itu terjadi: bisa karena pengaruh tokoh lokal yang melekat pada partai tersebut, bisa juga karena hubungan yang sifatnya idealogis, etnis maupun kekerabatan.
Fakta politik itu tidak bisa diabaikan karena hal ini menyangkut eksistensi politik lokal yang harus dihormati oleh negara atau kebijakan politik nasional. Jika tidak, maka hal itu tidak saja mengabaikan keanekaragaman Indonesia, tetapi juga menimbulkan konflik politik dan perpecahan sosial, sebagaiman terjadi pada zaman Orde Baru, yang meledak begitu negara tidak memiliki daya paksa.
Beberapa politisi menolak kemungkinan itu, dengan klaim bahwa partai yang lolos PT nasional pasti mengakar ke semua daerah. Klaim yang sebetulnya tidak terbukti dari hasil Pemilu 2009.
Yang harus diperhitungakan adalah risiko politiknya. Berbeda dengan pemilihan anggota DPR, pemilihan anggota DPRD provinsi, dan lebih-lebih lagi pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota diliputi oleh hubungan emosional kuat. Hubungan antara calon dan pemilih sangat dekat, bukan semata karena sering bertemu, tetapi juga karena terdapat kedekatan kekerabtan, etnis dan agama.
Hubungan emosional ini bisa meledak menjadi kemarahan dan kerusuhan, apabila pemilih mengetahui bahwa calonnya yang didukung oleh banyak pemilih (hingga melebihi kuota suara untuk satu kursi DPRD), tidak terpilih, gara-gara partainya tidak memenuhi PT suara nasional.
Sementara partai calon lain yang hanya mendapatkan sedikit suara (jauh dari kuota suara untuk satu kursi), menjadi terpilih karena calon itu berasal dari partai yang lolos PT suara nasional.
Konflik massa dalam pemilu kada di beberapa daerah, sebetulnya adalah contoh gamblang, betapa hubungan emosional antara pemilih dan calon sangat dekat, sehingga apabila mereka merasa mendapat perlakuan tidak adil, kemarahan segera berubah menjadi amuk massa.
Para anggota DPR yang tinggal di Jakarta mungkin tidak merasakan hal ini, sehingga mereka cenderung menggampangkan masalah. Pikiran dan semangat mereka memang jauh dari keindonesaiaan yang dibayangkan para pendiri bangsa.
Fokus mereka hanya pada satu titik: merebut, mempertahankan dan memperbesar kekuasaan. Mereka mau mengulangi langkah penguasa Orde Baru, yang dulu dikritiknya.
*) Didik Supriyanto adalah wartawan detikcom. Tulisan ini tidak mewakili kebijakan redaksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar