Halaman

Hasil Survey : Wakil Rakyat Tak Lagi Merakyat

JAKARTA - Ini warning serius bagi segenap anggota dewan, terutama DPR yang mengaku wakil rakyat. Survei terbaru Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menemukan kalau 72 persen respondennya tidak ingat siapa wakilnya di DPR. Bahkan, 93 persen responsen mengaku tidak merasa terwakili oleh DPR.
"Terdapat gejala kesenjangan hubungan antara anggota DPR dan konstituen," kata Koordinator Formappi Sebastian Salang di Kantornya, Jalan Matraman Raya, Jakarta Pusat, kemarin (22/3).
Survei Formappi ini dilaksanakan pada 13 Januari sampai 7 Februari 2011 dengan metode proporsional random sampling. Sekitar 564 responden yang tersebar di Jakarta Selatan dan Jakarta Utara dipilih secara acak lalu diwawancara secara tatap muka.
Di antara responden yang terjaring, sebanyak 93 persen termasuk yang menggunakan hak pilihnya saat pemilu 2009. "Meskipun hanya survei di Jakarta, kami kira ini parameter penting," ujar Sebastian.
Menurut dia, ditemukannya 72 persen responden yang tidak ingat siapa wakilnya di DPR cukup memprihatinkan. Padahal, anggota DPR mendapat jatah empat kali masa reses setiap tahun untuk bertemu dan menjelaskan kinerjanya kepada pemilih.
Fenomena ini, kata Sebastian, mengindikasikan kurangnya intensitas hubungan antara anggota DPR dan konstituen.
"Ini juga membuktikan banyak anggota DPR bukan tokoh masyarakat dan masyarakat tidak mau mengingat siapa wakilnya karena tidak ada manfaat," katanya.
Sebastian menambahkan begitu besarnya persentase responsen yang tidak merasa terwakili oleh DPR menggugurkan klaim DPR selama ini sebagai wakil rakyat. "Ternyata ada kesenjangan yang sangat dalam antara apa yang disuarakan DPR dan apa yang menjadi keprihatinan responden," kritik Sebastian.
Dia menyarankan agar para anggota DPR lebih mendekatkan diri dengan rakyat yang menjadi basis konstituennya. Selain itu, DPR juga harus memperbaiki kinerja kolektifnya.
"Hanya dengan cara ini, fungsi mereka dalam mewakili dan memperjuangkan aspirasi rakyat benar "benar bisa dirasakan manfaatnya," tegas Sebastian.
Ketua DPR Marzuki Alie mengatakan temuan Formappi dalam konteks tertentu ada benarnya. Tapi, menurut dia, munculnya gejala itu karena para anggota DPR memang tidak punya ruang yang nyata untuk memperjuangkan berbagai aspirasi konstituennya. Mulai soal jembatan, jalan, sampai beasiswa bagi anak yang tak mampu.
"DPR punya hak bujet. Tapi, sifatnya hanya membahas RAPBN, menyetujui atau tidak menyetujui. DPR tidak bisa mengusulkan proyek secara rill. Semuanya disiapkan pemerintah. Kalau saya sebagai warga negara, saya pun akan merasa sebenarnya siapa yang mewakili saya," ujarnya.
Marzuki membenarkan setiap anggota DPR dijatah empat kali reses dalam setahun. Setiap reses, mereka ''dibekali" anggaran sekitar Rp 20-30 juta per orang tergantung lokasi dapilnya. Saat reses itulah, para anggota dewan bertemu dan mendengar aspirasi dari konstituen. Tapi, Marzuki menyebut anggaran reses itu sebenarnya tidak mencukupi.
"Saya ini sekali pertemuan bisa habis sampai Rp 100 juta. Jadi, selalu nombok," kata Marzuki yang terpilih dari dapil DKI Jakarta III yang meliputi Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Kepulauan Seribu.
Pengeluaran yang cukup tinggi itu di antaranya untuk sewa tempat, konsumsi, sampai uang transport sekitar Rp 100 ribu per orang. Padahal, dalam sekali pertemuan setidaknya dia mendatangkan 500 peserta. "Masyarakat kalau nggak ada "apa-apanya" mendingan cari uang," katanya.
Lebih jauh Marzuki menyayangkan matinya ide dana aspirasi akibat terlanjur dicitrakan sangat negatif sebagai perampokan uang rakyat. Padahal, kata Marzuki, para anggota dewan justru ingin memperjuangkan kebutuhan dan aspirasi rakyat yang menjadi konstituennya melalui mekanisme resmi yang ada.
"Rencana dana aspirasi itu maksudnya untuk membuka ruang itu, bentuknya bukan uang, tapi program. Misalnya, konstituen saya di dapil perlu jembatan atau anak sekolah perlu beasiswa, saya rekomendasikan melalui dinas "dinas, diperjuangkan sampai masuk APBN dan diketok DPR," tutur Marzuki.
Saat ini, sebagian anggota dewan mengeluarkan uang pribadinya untuk memenuhi permintaan atau membantu kesulitan konstituen. Tapi, jumlahnya tidak besar, karena faktor kemampuan yang relatif terbatas. "Kami ini berkoar "koar dalam raker dengan menteri, tapi apa yang (konkrit) bisa kita dapatkan untuk konstituen," katanya. (pri)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar